Tuesday 6 October 2015

Bu Angel: Malaikat di Manokwari!



Namanya bu Angel.  Sosok sederhana yang selalu penuh senyum.  Bu Angel datang ke Papua di awal tahun 1980an.  Waktu itu dia masih, muda masih gadis, atau disini disebut nona.   Nona muda, berkulit putih dan murah senyum tersebut tinggal dengan kakaknya tidak jauh dari kampus UNIPA di Manokwari yang waktu itu masih menjadi kabupaten.  
Menurut Bu Angel, Manokwari di awal tahun 1980an masih sangat sepi.  Masih didominasi oleh hijaunya hutan, dan burung-burung beragam warna dan ukuran bertebangan bebas di udara, bahkan hinggap di jemuran belakang rumah.  Di pasar,  penduduk Papua asli dari suku Mandacan berjualan hasil hutan dan sayuran.  Mereka masih belum mengenakan baju seperti sekarang, mereka masih menggunakan celana atau rok cawat, dengan bagian atas telanjang.   Menurut Bu Angel mereka berjalan-jalan di dalam pasar sambil menyandang busur dan anak panah. 
Bu Angel muda sama sekali tidak merasa takut.  Di mata bu Angel semua manusia itu sama.  Jikalau kita tidak berbuat salah, kita santun, dan menghormati mereka, mereka pasti tidak akan mengganggu.  Bahkan, bertolak belakang dengan cerita menakutkan yang sering saya dengar, Bu Angel justru memiliki banyak pengalaman menarik.
“Pernah saya sedang berbelanja di pasar, seorang mama-mama memanggil dan berlari kecil mengejar saya, mama tersebut memberikan satu kantong besar buah Matoa, dan menolak menerima uang.  Mama tersebut bilang bawa saja, itu untuk nona!”
Dan itu bukan pengalaman pertama. Bu Angel juga bercerita sewaktu Ia berbelanja, mama-mama di pasar sering memberikan bonus tambahan.  Misal, sewaktu saya membeli kentang satu tumpuk, mama penjual tersebut menambahkan beberapa butir lagi.
Bu Angel tidak memiliki rahasia.   Ia hanya sering menyapa dan tersenyum, dan jikalau ia membawa makanan sewaktu berbelanja, seperti pisang goreng, Ia suka membagikannya kepada anak mama yang sedang berjualan tersebut.
Seiring bertambah tahun, akhirnya Bu Angel mengikuti jejak kakaknya untuk tinggal menetap di Papua.  Ia berkeluarga dengan seorang laki-laki Cina Manado dan dikarunia tiga orang anak.  Salah seorang anak Bu Angel menikah dengan laki-laki Papua, Cina-Serui.   Perbedaan warna kulit dan budaya semakin lama semakin tipis tak terlihat.  Keluarga mereka hidup rukun dengan tetangga yang terdiri dari beragam suku, ada yang dari Makassar, Jawa, atau masyarakat Papua dari Biak, Wamena, Mandacan, dan beberapa suku lainnya.  Bu Angel juga mengajarkan anaknya nilai-nilai yang dia yakini, yaitu nilai mencintai dan mengasihi sesama manusia, dia mengajarkan anaknya untuk lebih melihat ke persamaan bukan perbedaan pada diri Manusia. Manusia itu sama.
Bu Angel tidak pernah mengkhawatirkan masalah keamanan di Papua, apakah itu terkait dengan OPM atau sentimen anti pendatang yang kian meningkat.  Bagi dia, Papua adalah rumahnya.  Lama tinggal di Papua membuat dia merasa lebih seperti orang Papua, apalagi ketiga anak-nya lahir dan besar di Papua.
Pernah terjadi beberapa kali kerusuhan.  Dimana banyak toko-toko, rumah makan, dan tempat usaha pendatang lainnya dibakar, semua habis dilahap api, tetapi warung bu Angel tetap berdiri kokoh tanpa rusak sedikitpun.  Bu Angel percaya kalau tuhan akan membalas setiap kebaikan yang kita tebar.  Bu Angel juga meyakini jikalau orang yang pernah mendapatkan kebaikan dari kita tidak akan pernah lupa.  Mereka tidak akan menyakiti kita.
Bu Angel melihat kalau kebaikan orang Papua tersebut tulus.  Jikalau kita baik, mereka juga akan baik.  Banyak orang Papua yang dikenalnya memberi tanpa pamrih, jikalau hati mereka sudah tersentuh, mereka tidak pernah hitung-hitungan.
Permasalahan umum di Papua adalah minuman keras.  Tak terkecuali bagi bagi laki-laki Papua yang tinggal disekitar tempat tinggalnya.  Ketika matahari sudah terbenam, mereka akan mulai menenggak minuman dan minum sampai mabuk.    Tetapi meski dalam keadaan mabuk, mereka tetap tidak pernah menggangu Bu Angel sekeluarga.  Mereka menyapa Bu Angel ketika lewat.  Bu Angel bercerita kalau pernah beberapa anak muda, mereka pendatang baru di komplek tersebut, mengganggu anaknya yang remaja, Maria, laki-laki Papua lainnya di kompleks tersebut yang bahkan juga sedang mabuk berat menegur mereka, mereka berkata “ kau tidak boleh menggangu dia, dia itu adalah adek kami, saudara saya”.
Bu Angel tidak hanya baik pada masyarakat Papua asli, saya yang waktu sedang berkunjung ke Manokwari selama dua minggu untuk sebuah penelitian juga mendapatkan kebaikannya. Meski saya tinggal terpisah di paviliun yang dia sewakan, dia selalu mengundang saya makan ke rumahnya. Di saat saya dan dia sama-sama tidak sibuk, kami menghabiskan waktu mengobrol hingga larut malam di teras rumahnya.   Bu Angel telah menjadi inspirasi saya.  Bu Angel adalah bukti bahwa kebaikan itu tidak boleh pilih-pilih, dan tidak ada manusia yang lebih baik dari manusia lainnya, manusia itu sama.
Bonus dalam sebuah perjalanan adalah jika kita bertemu dengan orang seperti Bu Angel.  Saya tidak selalu beruntung, tetapi karena saya sering bepergian maka saya lebih beruntung dari pada orang-orang yang memilih untuk tinggal di rumah saja. Guru saya tidak hanya saudara, orang tua, atau teman tetapi juga orang-orang menarik yang saya temui dalam beberapa perjalanan.  



No comments:

Post a Comment