Namanya bu Angel. Sosok sederhana yang selalu penuh senyum. Bu Angel datang ke Papua di awal tahun
1980an. Waktu itu dia masih, muda masih
gadis, atau disini disebut nona. Nona
muda, berkulit putih dan murah senyum tersebut tinggal dengan kakaknya tidak
jauh dari kampus UNIPA di Manokwari yang waktu itu masih menjadi kabupaten.
Menurut Bu Angel,
Manokwari di awal tahun 1980an masih sangat sepi. Masih didominasi oleh hijaunya hutan, dan burung-burung
beragam warna dan ukuran bertebangan bebas di udara, bahkan hinggap di jemuran
belakang rumah. Di pasar, penduduk Papua asli dari suku Mandacan berjualan
hasil hutan dan sayuran. Mereka masih
belum mengenakan baju seperti sekarang, mereka masih menggunakan celana atau
rok cawat, dengan bagian atas telanjang.
Menurut Bu Angel mereka berjalan-jalan di dalam pasar sambil menyandang
busur dan anak panah.
Bu Angel muda sama
sekali tidak merasa takut. Di mata bu Angel
semua manusia itu sama. Jikalau kita
tidak berbuat salah, kita santun, dan menghormati mereka, mereka pasti tidak
akan mengganggu. Bahkan, bertolak
belakang dengan cerita menakutkan yang sering saya dengar, Bu Angel justru memiliki
banyak pengalaman menarik.
“Pernah saya sedang
berbelanja di pasar, seorang mama-mama memanggil dan berlari kecil mengejar saya,
mama tersebut memberikan satu kantong besar buah Matoa, dan menolak menerima
uang. Mama tersebut bilang bawa saja,
itu untuk nona!”
Dan itu bukan
pengalaman pertama. Bu Angel juga bercerita sewaktu Ia berbelanja, mama-mama di
pasar sering memberikan bonus tambahan.
Misal, sewaktu saya membeli kentang satu tumpuk, mama penjual tersebut
menambahkan beberapa butir lagi.
Bu Angel tidak memiliki
rahasia. Ia hanya sering menyapa dan
tersenyum, dan jikalau ia membawa makanan sewaktu berbelanja, seperti pisang
goreng, Ia suka membagikannya kepada anak mama yang sedang berjualan tersebut.
Seiring bertambah
tahun, akhirnya Bu Angel mengikuti jejak kakaknya untuk tinggal menetap di
Papua. Ia berkeluarga dengan seorang
laki-laki Cina Manado dan dikarunia tiga orang anak. Salah seorang anak Bu Angel menikah dengan
laki-laki Papua, Cina-Serui. Perbedaan
warna kulit dan budaya semakin lama semakin tipis tak terlihat. Keluarga mereka hidup rukun dengan tetangga
yang terdiri dari beragam suku, ada yang dari Makassar, Jawa, atau masyarakat
Papua dari Biak, Wamena, Mandacan, dan beberapa suku lainnya. Bu Angel juga mengajarkan anaknya nilai-nilai
yang dia yakini, yaitu nilai mencintai dan mengasihi sesama manusia, dia
mengajarkan anaknya untuk lebih melihat ke persamaan bukan perbedaan pada diri
Manusia. Manusia itu sama.
Bu Angel tidak pernah
mengkhawatirkan masalah keamanan di Papua, apakah itu terkait dengan OPM atau
sentimen anti pendatang yang kian meningkat.
Bagi dia, Papua adalah rumahnya.
Lama tinggal di Papua membuat dia merasa lebih seperti orang Papua,
apalagi ketiga anak-nya lahir dan besar di Papua.
Pernah terjadi beberapa
kali kerusuhan. Dimana banyak toko-toko,
rumah makan, dan tempat usaha pendatang lainnya dibakar, semua habis dilahap
api, tetapi warung bu Angel tetap berdiri kokoh tanpa rusak sedikitpun. Bu Angel percaya kalau tuhan akan membalas
setiap kebaikan yang kita tebar. Bu Angel
juga meyakini jikalau orang yang pernah mendapatkan kebaikan dari kita tidak
akan pernah lupa. Mereka tidak akan
menyakiti kita.
Bu Angel melihat kalau
kebaikan orang Papua tersebut tulus.
Jikalau kita baik, mereka juga akan baik. Banyak orang Papua yang dikenalnya memberi
tanpa pamrih, jikalau hati mereka sudah tersentuh, mereka tidak pernah
hitung-hitungan.
Permasalahan umum di
Papua adalah minuman keras. Tak
terkecuali bagi bagi laki-laki Papua yang tinggal disekitar tempat
tinggalnya. Ketika matahari sudah
terbenam, mereka akan mulai menenggak minuman dan minum sampai mabuk. Tetapi meski dalam keadaan mabuk, mereka
tetap tidak pernah menggangu Bu Angel sekeluarga. Mereka menyapa Bu Angel ketika lewat. Bu Angel bercerita kalau pernah beberapa anak
muda, mereka pendatang baru di komplek tersebut, mengganggu anaknya yang
remaja, Maria, laki-laki Papua lainnya di kompleks tersebut yang bahkan juga
sedang mabuk berat menegur mereka, mereka berkata “ kau tidak boleh menggangu
dia, dia itu adalah adek kami, saudara saya”.
Bu Angel tidak hanya
baik pada masyarakat Papua asli, saya yang waktu sedang berkunjung ke Manokwari
selama dua minggu untuk sebuah penelitian juga mendapatkan kebaikannya. Meski
saya tinggal terpisah di paviliun yang dia sewakan, dia selalu mengundang saya
makan ke rumahnya. Di saat saya dan dia sama-sama tidak sibuk, kami
menghabiskan waktu mengobrol hingga larut malam di teras rumahnya. Bu Angel telah menjadi inspirasi saya. Bu Angel adalah bukti bahwa kebaikan itu
tidak boleh pilih-pilih, dan tidak ada manusia yang lebih baik dari manusia
lainnya, manusia itu sama.
Bonus dalam sebuah perjalanan
adalah jika kita bertemu dengan orang seperti Bu Angel. Saya tidak selalu beruntung, tetapi karena
saya sering bepergian maka saya lebih beruntung dari pada orang-orang yang
memilih untuk tinggal di rumah saja. Guru saya tidak hanya saudara, orang tua,
atau teman tetapi juga orang-orang menarik yang saya temui dalam beberapa
perjalanan.
No comments:
Post a Comment