Minggu pertama di bulan Desember. Aku terbangun ketika HP yang terletak di meja
kecil di sebelah tempat tidur berbunyi, nyaring!
Dengan malas aku menggapai blackberry berwarna hitam yang kubeli di Jayapura beberapa bulan
yang lalu. HP tersebut telah menjadi
jembatanku dengan dunia luar. Meski
sinyal telfon tidak terlalu lancar, setidaknya aku masih bisa menerima dan
berkirim email. Ternyata ada email yang
masuk. Email yang berjudul “Postal
Address” dari Linda.
Dengan mata yang masih mengantuk, aku membacanya.
Dengan mata yang masih mengantuk, aku membacanya.
Hi Karin,
Saat ini Aku sedang membuat kartu
ucapan.
Liburan natal dan tahun baru nanti kamu mau kemana? Can I send you a card in Papua ? Hope you're well.
Liburan natal dan tahun baru nanti kamu mau kemana? Can I send you a card in Papua ? Hope you're well.
Kabarku disini baik. Aku agak pusing
karena lagi banyak kerjaan, tetapi jangan khawatir, Aku akan bersantai di akhir
pekan ini, dan pusingnya pasti hilang.
Salam Kangen,
Linda
Beberapa hari yang lalu Sonja juga mengirimkan
email bernada sama. Mungkin sudah
menjadi budaya orang eropa berkirim kartu. Tidak harus dibalas sekarang. Aku
kembali melanjutkan tidur.
***
Hari-hari selanjutnya Aku disibukkan dengan
tugas-tugas kantor. Aku tengah mempersiapkan kunjungan lapang ke
sebuah kampung terpencil di tengah hutan. Sehubungan dengan perjalanan ini, Aku
membutuhkan meterai untuk keperluan pelaporan keuangan nanti. Untuk sewa mobil diatas satu juta, harus ditambahkan
meterai di kwitansi pembayaran nanti.
Dan kantor pos adalah tempat yang tepat untuk mendapatkan meterai
tersebut. Kantor pos menjual meterai
dengan harga yang sama dengan harga yang tertera, sedangkan jika membeli di toko
buku atau di tempat fotokopi, harganya biasanya lebih mahal.
Aku menyukai warna
orange cerah kantor pos. Kantor
pos di Serui memiliki halaman yang luas, dan berada tepat di pinggir jalan raya. Kantor pos pagi itu sepi, hanya ada dua orang
pengunjung. Aku mendekati petugas kantor pos separoh baya yang menyapaku dengan
ramah.
“Mengirimkan paket lagi mba?
Serui adalah kota kecil, dan wajah baru sangat
mudah dikenali. Beberapa hari yang lalu,
Aku mengirimkan paket ke kantor di Jayapura.
Si bapak petugas kantor pos masih ingat saja.
Aku tersenyum, “bukan mengirimkan paket pak, hanya
mau beli meterai”
“Wah materai lagi habis. Kami tidak memiliki
materai saat ini” jawabnya.
Aku tidak akan pulang dengan tangan kosong. Sekarang Aku sudah disini, apa yang bisa Aku
dapatkan dari kantor ini sehingga kedatanganku kesini tidak sia-sia. Aku teringat email Linda yang belum Aku
balas. Jika Ia mengirimkan kartu kepadaku,
artinya Aku juga harus melakukan hal yang sama.
Bukankah selalu seperti itu hukumnya, Segala sesuatu harus berbalas? Dan
keseimbanganpun tercipta?
“Pak, kalau mengirimkan surat biasa atau kartu pos
ke Irlandia, Aku harus membubuhkan perangko harga berapa?”.
Si bapak tampak bingung. Aku menambahkan “Irlandia,
di Eropa”
“Hmm...Aku harus cek ke Kantor Pos Biak dulu.
Disini kami tidak pernah menerima surat yang akan dikirim ke luar negeri”
jawabnya.
“Tidak mungkin pak... tidak ada orang yang
mengirimkan surat ke luar negri dari Serui, jika tidak surat mungkin kartu pos?
Dulu di Serui kan banyak misionaris, ada
yang dari Belanda, Amerika, dan beberapa negara lain, tidak mungkin mereka
tidak mengirimkan surat ke negara asalnya,
coba bapak ingat-ingat?” Aku mencoba memancing ingatan si bapak, sulit
bagiku untuk percaya dengan ucapannya.
“Oiya..., beberapa minggu lalu ada orang yang
mengirimkan kartu pos, kalau tidak salah ke Belanda. Dia membubuhi prangko
10.000”
Kalau begitu Aku ikut orang itu saja. “Aku bisa
membeli prangko disini kan?” tanyaku.
“Berapa?”
“30 ribu. Tolong perangkonya dengan beberapa gambar
yang berbeda ya pak” pintaku sambil mengeluarkan uang dari dompet.
Bapak tersebut tidak bergerak dari tempatnya. Dia terlihat ragu. “Disini kami hanya punya
yang Rp. 5,000 itupun hanya satu model, tidak ada yang Rp. 10.000, dan tidak
ada gambar yang lain juga” jawab bapak tersebut.
Mau bagaimana lagi, Aku harus menerima karena
memang tidak ada pilihan lain.
***
Surat. Perangko. Kartu Pos. Ingatanku melayang ke
rumah. Mama memiliki banyak tumpukan kartu pos dari berbagai negara. Adek nenekku, paman dari mama, dulunya adalah
seorang pelaut. Dia bepergian keliling
dunia. Mama memiliki hobi filateli dan Ia meminta pamannya untuk selalu
mengirimkan kartu pos disetiap negara dimana kapal berlabuh. Sewaktu kecil, Aku
suka membuka tumpukan amplop surat dan kartupos mama. Dari kartupos dan perangko itulah Aku
mengenal kalau ada banyak negara-negara lain di Dunia. Dari kartu pos itu Aku
mengenal bahwa selain musim hujan dan musim panas ada juga musim salju. Tumpukan kartu pos tersebut penuh dengan
gambar-gambar menarik, cantik dan penuh warna.
Sewaktu kecil, Aku sering dimarahi mama. Aku tidak mematuhi perintahnya. Aku lebih memilih bermandikan keringat,
bermain layangan dibawah terik matahari dibandingkan duduk manis di rumah, atau
Aku pergi memancing ikan sewaktu hujan dan pulang ke rumah dalam keadaan basah
dan berlumpur. Mama tidak lembut Ayu
Azhari dalam perannya sebagai ibu Peri.
Jikalau mama sudah marah, tidak ada yang berani mendekat. Mama akan memukul dengan sapu atau mencubit
hingga biru. Bahkan Papa, tidak mencoba menghentikan mama.
Setelah amarah mama mereda, kakakku akan datang
menghampiri dan menghibur. Ia dua tahun lebih tua. Berbeda denganku yang dimarahi oleh mama
setiap saat, kakakku selalu menjadi anak kebanggaan mama, yang terkadang membuatku
merasa iri, tetapi bagaimanapun, Aku tidak pernah bisa marah padanya, karena ia
selalu baik dan penuh kasih sayang.
Setelah isak tangis reda, kakakku akan pergi meninggalkanku
sendiri. Dan dengan isak tangis yang
masih tersisa biasanya Aku akan menatap satu persatu koleksi kartu pos mama,
dan berharap kalau Aku bisa pergi menghilang ke tempat asing, tempat yang ada di salah satu kartu pos tersebut, negeri nan
jauh.
Hingga sekarang mama masih menyukai surat dan kartu
pos. Meski sekarang Ia sudah bisa mengirimkan kabar lewat email, tetapi Ia akan
sangat senang ketika menerima surat dan kartu pos dariku, atau menerima prangko
dari surat yang dikirimkan untukku, seperti perangko dari Linda.
***
Kita hidup terkotak-kotak. Dikotakkan oleh suku, agama, warna kulit,
negara dan lain- lain. Meski di zaman
globalisasi ini perbauran mulai terjadi, batas negara, batas etnis, dan batas
lainnya mulai mengabur, tetapi jurang perbedaan itu masih ada, dan di beberapa
tempat masih kuat. Beberapa orang tua,
masih menginginkan anak dan kerabat mereka untuk menikah dari suku yang sama, dan
juga agama yang sama.
Sewaktu kecil,
di lingkungan tempatku tinggal, hampir semua beragama Islam. Sewaktu SD,
yang beragama bukan Islam, bisa dihitung dengan jari. Di kelasku, ada satu anak beragama Kristen, Eddy,
anaknya sopan, baik dan pintar, tetapi banyak saja yang kurang ajar
kepadanya. Ia di bilang bau, babi, atau
beberapa anak memasang ekspresi jijik ketika berada di dekatnya. Tak pernah sekalipun Ilyas marah. Ia hanya menanggapi dengan senyuman. Tak jarang, Aku terlibat dalam sebuah
perkelahian karena membela Eddy, Aku tidak tega, ketika orang yang tidak
bersalah diganggu. Eddy adalah anak
pindahan, dan iya hanya bertahan selama satu tahun. Ia pergi. Tetapi senyum tegar dan sabar miliknya masih
melekat dalam ingatanku.
Bagiku, dan sebagian masyarakat Indonesia pada
umumnya, Natal adalah hari biasa. Natal hanyalah
hari libur karena kalender merah. Bahkan
ada beberapa temanku yang tetap bekerja di hari natal. Berbeda dengan di Indonesia bagian barat,
di bagian timur, di Papua, hari raya Natal adalah hari raya besar, sama seperti
hari raya Idul Fitri. Satu bulan
menjelang natal, masyarakat sudah membangun pondok-pondok natal yang dihiasi
dengan lampu warna-warni dan lagu natal mengalun dari speaker besar dari hampir setiap rumah warga. Masyarakat bekerja bergotong royong
membersihkan kampung, membersihkan gereja, mencat rumah, mengganti atap yang
bocor, dan banyak lainnya. Kampung
disulap menjadi cantik. Dua minggu
sebelum natal dan dua minggu setelah natal adalah waktu yang tidak bisa
diganggu untuk kegiatan lain, kecuali kegiatan-kegiatan terkait dengan perayaan
natal dan kegiatan ibadah lainnya.
Berada di pulau kecil dimana Natal dirayakan secara
besar-besaran masih menyisakan sedikit perasaan aneh, aku tidak pernah berada
dalam situasi serupa sebelumnya. Hari raya Natal dirayakan oleh hampir seluruh
orang Papua. Hari yang disambut dengan
suka cita. Hari yang paling di nanti. Hari berbahagia.
Berbeda dengan cerita mengenai Eddy, masyarakat
Papua pada umumnya, menghormati keyakinanku yang berbeda. Mereka sangat toleran.
Mamaku pernah berkata, di kampung dia, jikalau ada orang Kristen yang bekerja seperti
apa yang Aku lakukan, pastilah dicurigai melakukan upaya kristenisasi. Mamaku bertanya apakah orang disana pernah
memiliki prasangka kalau aku akan mengislamisasi orang Papua?
Pertanyaan tersebut Aku jawab dengan senyuman
“Tidak”. Tidak pernah sekalipun. Mereka masyarakat ramah, terbuka, dan tidak berburuk
sangka.
Rekan Papua mengucapkan selamat sewaktu Aku
merayakan hari raya Idul Fitri. Sekarang
mereka merayakan hari raya natal, mereka juga pantas mendapatkan sebuah kata
selamat yang tulus.
Sebelum Aku menghilang ke kampung di tengah hutan
yang jauh dari jangkauan teknologi modern, Aku membalas email Linda. Aku mengirimkan alamatku di Jayapura, karena
kalau alamat Serui, takutnya tidak sampai, karena tidak ada nomor rumah. Aku juga menuliskan dalam balasan email tersebut
kalau Aku telah mengirimkan kartu ucapan Natal lewat pos untuknya, tetapi
jangan terlalu berharap untuk menerimanya, aku memberikan warning, sehingga jika kartu tersebut tidak Ia terima, Ia tidak
akan kecewa. Aku menceritakan percakapan
singkatku dengan pak pos di Serui yang tidak terlalu yakin kalau suratku akan
sampai. Aku menutup email dengan
kalimat kalau takdir maka kartu ucapan itu pasti akan sampai di tangannya.
Tak terasa dua minggu berlalu semenjak kartu pos
Aku kirim ke Linda. Beberapa rekan kerja
di kantor Jayapura sudah mulai mengambil cuti natal. Sementara rekan kerja di
Serui sudah mulai libur dari satu minggu lalu.
Koperasi yang menjadi mitra kerjaku di Serui meliburkan diri dari satu
minggu sebelum Natal hingga satu minggu setelah tahun baru, total 3
minggu. Tetapi dari kantor yang
mengirimkan gajiku tiap bulan, hari libur yang mereka akui hanya yang sesuai dengan
tanggal merah di kalender yaitu 2 hari libur natal dan 1 hari libur tahun baru,
total hanya 3 hari. Artinya Aku tidak
bisa meninggalkan pulau ini, kecuali kalau Aku mengambil cuti. Hanya saja jatah cutiku juga sudah hampir
habis, Aku menyisakan beberapa hari untuk situasi emergensi. Jadilah Aku tetap di Serui, bekerja seorang
diri.
Aku sendirian, Aku merasa kesepian. Rekan kerjaku di Serui merayakan natal
bersama keluarga. Mereka berkumpul
dengan keluarga besar. Mereka memasak berbagai macam makanan dan membeli banyak
minuman.
Pukul 11.30 malam, 24 Desember, Aku baru selesai
membaca sebuah novel dan tengah bersiap untuk tidur ketika handphone-ku
berbunyi. Email dari Linda.
Dear Karin,
Kartu ucapan yang kamu
kirimkan telah tiba hari ini – di malam natal! It was meant to be. Kamu bisa
mengatakan ke pak Posmu di Serui kalau kartu tersebut berhasil tiba di Eropa
tepat menjelang hari raya Natal. Terimakasih banyak. Kartunya sangat bagus dan Aku
menyukai pesan yang kamu tuliskan di kartu tersebut.
Aku akan mengirimkan
kartu tahun baru untukmu, tetapi mungkin kamu harus bersabar menunggunya.
xxxxxLinda
Bagaikan cerita film natal di TV saja, memang agak
sedikit ajaib, kartu tersebut tiba tepat waktu, padahal dikirimkan dari pulau
kecil terpencil di Papua ke Dublin, Irlandia, luarbiasa
***
Akhir bulan Februari. Gegap gempita natal sudah terlupakan. Suasana sudah kembali lagi seperti sediakala,
dimana orang beraktivitas lagi seperti biasa.
Hotel-hotel mulai dipenuhi oleh acara-acara rapat dan lokakarya yang
diselenggarakan oleh baik pemerintah, perusahaan dan juga LSM. Minggu ini Aku berada di Jayapura untuk
menghadiri acara rapat koordinasi.
Sewaktu Aku tengah duduk serius memperhatikan
pembicara, seseorang mencolek punggungku dari belakang sambil menyerahkan sebuah
amplop merah, ternyata Ami, staf admin kantor Jayapura. Aku melirik ke amplop tersebut, ternyata dari
Irlandia. Membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan kartu tersebut
tiba di Papua, sebaliknya hanya membutuhkan dua minggu bagi kartu dari Papua
untuk tiba di Irlandia. Aku memasukan
kartu tersebut ke dalam tas, dan kembali berkonsentrasi penuh mengikuti rapat. Malam
hari, Aku mengeluarkan kartu berwarna merah yang berhiaskan kancing baju warna-warni
dari amplopnya. Linda memang
kreatif. Tepatnya kita berdua kreatif.
Dan hal itu yang mungkin menjadi salah satu alasan kenapa kita berteman, kita
memiliki kesamaan minat.
Memang email jauh lebih mudah dan tentu saja
murah. Tetapi ada kebahagiaan tersendiri
sewaktu menerima amplop yang disertai dengan prangko dan cap pos. Dunia
berubah, tetapi dalam beberapa hal, orang menginginkan cara lama, cara berkirim
pesan dengan bantuan kantor Pos.
Linda hanya menuliskan kalimat pendek, tetapi membuatku
kepalaku pusing. Di dalam amplop itu aku
juga menemukan sebuah prangko dengan cap dari kantor Pos Serui, prangko dari
surat yang aku kirimkan, selain itu juga ada sebuah surat pendek yang diperuntukkan
bagi pak Pos di Serui. Dia memintaku
untuk mencapaikan surat tersebut kepada pak Pos Serui, memintaku menerjemahkan
kalimat yang dia tulis jika pos tersebut tidak mengerti bahasa Inggris. Aku membaca surat dia yang diperuntukkan
untuk pak Pos.
Dear Pak Pos,
Teman saya, Karin bilang
kalau surat dari kantor pos tempat Anda bekerja mungkin tidak akan sampai ke
Irlandia, tetapi ternyata saya menerimanya. Dan saya hanya ingin memberitahukan
anda mengenai hal itu, dan betapa saya senang menerima surat itu.
Saya mendengar banyak
tentang Papua dari Karin, dan saya berharap kalau suatu saat nanti saya bisa
berkunjung kesana. Papua anda sungguh
indah.
Salam,
Linda
Ada beberapa pegawai pos di kantor Serui, belum
tentu bapak yang mengatakan kalau surat tersebut mungkin tidak sampai ada di
tempat. Jikalau ada, bagaimana saya
harus menyampaikan pesan dari Linda? Siapa Linda? Bahkan bapak tersebut juga
tidak kenal denganku. Baginya Aku hanya seorang
pendatang di kota kecilnya yang menjadi pelanggan di tempat dia bekerja. Dalam budaya Linda hal tersebut mungkin
biasa, tetapi dalam budaya Indonesia, dalam budaya Serui, reaksinya tentu akan
berbeda. Pusing!
***