Tuesday 6 October 2015

POS DI PAPUA: LAYANAN LINTAS NEGARA

Minggu pertama di bulan Desember.  Aku terbangun ketika HP yang terletak di meja kecil di sebelah tempat tidur berbunyi, nyaring! 
Dengan malas aku menggapai blackberry berwarna hitam yang kubeli di Jayapura beberapa bulan yang lalu.  HP tersebut telah menjadi jembatanku dengan dunia luar.   Meski sinyal telfon tidak terlalu lancar, setidaknya aku masih bisa menerima dan berkirim email.  Ternyata ada email yang masuk.  Email yang berjudul “Postal Address” dari Linda.   
Dengan mata yang masih mengantuk, aku membacanya.  

Hi Karin,
Saat ini Aku sedang membuat kartu ucapan.
Liburan natal dan tahun baru nanti kamu mau kemana? Can I send you a card in Papua ? Hope you're well.
Kabarku disini baik. Aku agak pusing karena lagi banyak kerjaan, tetapi jangan khawatir, Aku akan bersantai di akhir pekan ini, dan pusingnya pasti hilang.
Salam Kangen,
Linda

Beberapa hari yang lalu Sonja juga mengirimkan email bernada sama.  Mungkin sudah menjadi budaya orang eropa berkirim kartu. Tidak harus dibalas sekarang. Aku kembali melanjutkan tidur.
***
Hari-hari selanjutnya Aku disibukkan dengan tugas-tugas kantor.  Aku  tengah mempersiapkan kunjungan lapang ke sebuah kampung terpencil di tengah hutan. Sehubungan dengan perjalanan ini, Aku membutuhkan meterai untuk keperluan pelaporan keuangan nanti.  Untuk sewa mobil diatas satu juta, harus ditambahkan meterai di kwitansi pembayaran nanti.  Dan kantor pos adalah tempat yang tepat untuk mendapatkan meterai tersebut.  Kantor pos menjual meterai dengan harga yang sama dengan harga yang tertera, sedangkan jika membeli di toko buku atau di tempat fotokopi, harganya biasanya lebih mahal. 
Aku menyukai warna  orange cerah kantor pos.  Kantor pos di Serui memiliki halaman yang luas, dan berada tepat di pinggir jalan raya.  Kantor pos pagi itu sepi, hanya ada dua orang pengunjung. Aku mendekati petugas kantor pos separoh baya yang menyapaku dengan  ramah.
“Mengirimkan paket lagi mba?
Serui adalah kota kecil, dan wajah baru sangat mudah dikenali.  Beberapa hari yang lalu, Aku mengirimkan paket ke kantor di Jayapura.  Si bapak petugas kantor pos masih ingat saja.
Aku tersenyum, “bukan mengirimkan paket pak, hanya mau beli meterai”
“Wah materai lagi habis. Kami tidak memiliki materai saat ini” jawabnya.
Aku tidak akan pulang dengan tangan kosong.  Sekarang Aku sudah disini, apa yang bisa Aku dapatkan dari kantor ini sehingga kedatanganku kesini tidak sia-sia.  Aku teringat email Linda yang belum Aku balas.  Jika Ia mengirimkan kartu kepadaku, artinya Aku juga harus melakukan hal yang sama.  Bukankah selalu seperti itu hukumnya, Segala sesuatu harus berbalas? Dan keseimbanganpun tercipta?
“Pak, kalau mengirimkan surat biasa atau kartu pos ke Irlandia, Aku harus membubuhkan perangko harga berapa?”.
Si bapak tampak bingung. Aku menambahkan “Irlandia, di Eropa”
“Hmm...Aku harus cek ke Kantor Pos Biak dulu. Disini kami tidak pernah menerima surat yang akan dikirim ke luar negeri” jawabnya.
“Tidak mungkin pak... tidak ada orang yang mengirimkan surat ke luar negri dari Serui, jika tidak surat mungkin kartu pos? Dulu  di Serui kan banyak misionaris, ada yang dari Belanda, Amerika, dan beberapa negara lain, tidak mungkin mereka tidak mengirimkan surat ke negara asalnya,  coba bapak ingat-ingat?” Aku mencoba memancing ingatan si bapak, sulit bagiku untuk percaya dengan ucapannya.
“Oiya..., beberapa minggu lalu ada orang yang mengirimkan kartu pos, kalau tidak salah ke Belanda. Dia membubuhi prangko 10.000”
Kalau begitu Aku ikut orang itu saja. “Aku bisa membeli prangko disini kan?” tanyaku.
“Berapa?”
“30 ribu. Tolong perangkonya dengan beberapa gambar yang berbeda ya pak” pintaku sambil mengeluarkan uang dari dompet.  
Bapak tersebut tidak bergerak dari tempatnya.  Dia terlihat ragu. “Disini kami hanya punya yang Rp. 5,000 itupun hanya satu model, tidak ada yang Rp. 10.000, dan tidak ada gambar yang lain juga” jawab bapak tersebut.
Mau bagaimana lagi, Aku harus menerima karena memang tidak ada pilihan lain.
***
Surat. Perangko. Kartu Pos. Ingatanku melayang ke rumah. Mama memiliki banyak tumpukan kartu pos dari berbagai negara.  Adek nenekku, paman dari mama, dulunya adalah seorang pelaut.  Dia bepergian keliling dunia. Mama memiliki hobi filateli dan Ia meminta pamannya untuk selalu mengirimkan kartu pos disetiap negara dimana kapal berlabuh. Sewaktu kecil, Aku suka membuka tumpukan amplop surat dan kartupos mama.  Dari kartupos dan perangko itulah Aku mengenal kalau ada banyak negara-negara lain di Dunia. Dari kartu pos itu Aku mengenal bahwa selain musim hujan dan musim panas ada juga musim salju.   Tumpukan kartu pos tersebut penuh dengan gambar-gambar menarik, cantik dan penuh warna.
Sewaktu kecil, Aku sering dimarahi mama.  Aku tidak mematuhi perintahnya.  Aku lebih memilih bermandikan keringat, bermain layangan dibawah terik matahari dibandingkan duduk manis di rumah, atau Aku pergi memancing ikan sewaktu hujan dan pulang ke rumah dalam keadaan basah dan berlumpur.  Mama tidak lembut Ayu Azhari dalam perannya sebagai ibu Peri.  Jikalau mama sudah marah, tidak ada yang berani mendekat.  Mama akan memukul dengan sapu atau mencubit hingga biru. Bahkan Papa, tidak mencoba menghentikan mama.
Setelah amarah mama mereda, kakakku akan datang menghampiri dan menghibur. Ia dua tahun lebih tua.  Berbeda denganku yang dimarahi oleh mama setiap saat, kakakku selalu menjadi anak kebanggaan mama, yang terkadang membuatku merasa iri, tetapi bagaimanapun, Aku tidak pernah bisa marah padanya, karena ia selalu baik dan penuh kasih sayang.  Setelah isak tangis reda, kakakku akan pergi meninggalkanku sendiri.  Dan dengan isak tangis yang masih tersisa biasanya Aku akan menatap satu persatu koleksi kartu pos mama, dan berharap kalau Aku bisa pergi menghilang ke tempat asing, tempat yang ada  di salah satu kartu pos tersebut, negeri nan jauh.
Hingga sekarang mama masih menyukai surat dan kartu pos. Meski sekarang Ia sudah bisa mengirimkan kabar lewat email, tetapi Ia akan sangat senang ketika menerima surat dan kartu pos dariku, atau menerima prangko dari surat yang dikirimkan untukku, seperti perangko dari Linda.
***
Kita hidup terkotak-kotak.  Dikotakkan oleh suku, agama, warna kulit, negara dan lain- lain.  Meski di zaman globalisasi ini perbauran mulai terjadi, batas negara, batas etnis, dan batas lainnya mulai mengabur, tetapi jurang perbedaan itu masih ada, dan di beberapa tempat masih kuat.  Beberapa orang tua, masih menginginkan anak dan kerabat mereka untuk menikah dari suku yang sama, dan juga agama yang sama. 
Sewaktu kecil,  di lingkungan tempatku tinggal, hampir semua beragama Islam. Sewaktu SD, yang beragama bukan Islam, bisa dihitung dengan jari.   Di kelasku, ada satu anak beragama Kristen, Eddy, anaknya sopan, baik dan pintar, tetapi banyak saja yang kurang ajar kepadanya.  Ia di bilang bau, babi, atau beberapa anak memasang ekspresi jijik ketika berada di dekatnya.  Tak pernah sekalipun Ilyas marah.  Ia hanya menanggapi dengan senyuman.  Tak jarang, Aku terlibat dalam sebuah perkelahian karena membela Eddy, Aku tidak tega, ketika orang yang tidak bersalah diganggu.  Eddy adalah anak pindahan, dan iya hanya bertahan selama satu tahun. Ia pergi.  Tetapi senyum tegar dan sabar miliknya masih melekat dalam ingatanku.
Bagiku, dan sebagian masyarakat Indonesia pada umumnya, Natal adalah hari biasa.  Natal hanyalah hari libur karena kalender merah.  Bahkan ada beberapa temanku yang tetap bekerja di hari natal.    Berbeda dengan di Indonesia bagian barat, di bagian timur, di Papua, hari raya Natal adalah hari raya besar, sama seperti hari raya Idul Fitri.  Satu bulan menjelang natal, masyarakat sudah membangun pondok-pondok natal yang dihiasi dengan lampu warna-warni dan lagu natal mengalun dari speaker besar dari hampir setiap rumah warga.  Masyarakat bekerja bergotong royong membersihkan kampung, membersihkan gereja, mencat rumah, mengganti atap yang bocor,  dan banyak lainnya. Kampung disulap menjadi cantik.  Dua minggu sebelum natal dan dua minggu setelah natal adalah waktu yang tidak bisa diganggu untuk kegiatan lain, kecuali  kegiatan-kegiatan terkait dengan perayaan natal dan kegiatan ibadah lainnya.
Berada di pulau kecil dimana Natal dirayakan secara besar-besaran masih menyisakan sedikit perasaan aneh, aku tidak pernah berada dalam situasi serupa sebelumnya. Hari raya Natal dirayakan oleh hampir seluruh orang Papua.  Hari yang disambut dengan suka cita.  Hari yang  paling di nanti.  Hari berbahagia.
Berbeda dengan cerita mengenai Eddy, masyarakat Papua pada umumnya, menghormati keyakinanku yang berbeda.   Mereka sangat toleran. 
Mamaku pernah berkata, di kampung dia,  jikalau ada orang Kristen yang bekerja seperti apa yang Aku lakukan, pastilah dicurigai melakukan upaya kristenisasi.  Mamaku bertanya apakah orang disana pernah memiliki prasangka kalau aku akan mengislamisasi orang Papua?
Pertanyaan tersebut Aku jawab dengan senyuman “Tidak”.  Tidak pernah sekalipun.  Mereka masyarakat ramah, terbuka, dan tidak berburuk sangka.
Rekan Papua mengucapkan selamat sewaktu Aku merayakan hari raya Idul Fitri.  Sekarang mereka merayakan hari raya natal, mereka juga pantas mendapatkan sebuah kata selamat yang tulus.      
Sebelum Aku menghilang ke kampung di tengah hutan yang jauh dari jangkauan teknologi modern, Aku membalas email Linda.  Aku mengirimkan alamatku di Jayapura, karena kalau alamat Serui, takutnya tidak sampai, karena tidak ada nomor rumah.  Aku juga menuliskan dalam balasan email tersebut kalau Aku telah mengirimkan kartu ucapan Natal lewat pos untuknya, tetapi jangan terlalu berharap untuk menerimanya, aku memberikan warning, sehingga jika kartu tersebut tidak Ia terima, Ia tidak akan kecewa.   Aku menceritakan percakapan singkatku dengan pak pos di Serui yang tidak terlalu yakin kalau suratku akan sampai.   Aku menutup email dengan kalimat kalau takdir maka kartu ucapan itu pasti akan sampai di tangannya.
Tak terasa dua minggu berlalu semenjak kartu pos Aku kirim ke Linda.  Beberapa rekan kerja di kantor Jayapura sudah mulai mengambil cuti natal. Sementara rekan kerja di Serui sudah mulai libur dari satu minggu lalu.  Koperasi yang menjadi mitra kerjaku di Serui meliburkan diri dari satu minggu sebelum Natal hingga satu minggu setelah tahun baru, total 3 minggu.  Tetapi dari kantor yang mengirimkan gajiku tiap bulan, hari libur yang mereka akui hanya yang sesuai dengan tanggal merah di kalender yaitu 2 hari libur natal dan 1 hari libur tahun baru, total hanya 3 hari.  Artinya Aku tidak bisa meninggalkan pulau ini, kecuali kalau Aku mengambil cuti.  Hanya saja jatah cutiku juga sudah hampir habis, Aku menyisakan beberapa hari untuk situasi emergensi.  Jadilah Aku tetap di Serui, bekerja seorang diri.
Aku sendirian, Aku merasa kesepian.  Rekan kerjaku di Serui merayakan natal bersama keluarga.  Mereka berkumpul dengan keluarga besar. Mereka memasak berbagai macam makanan dan membeli banyak minuman. 
Pukul 11.30 malam, 24 Desember, Aku baru selesai membaca sebuah novel dan tengah bersiap untuk tidur ketika handphone-ku berbunyi. Email dari Linda.

Dear Karin,
Kartu ucapan yang kamu kirimkan telah tiba hari ini – di malam natal! It was meant to be. Kamu bisa mengatakan ke pak Posmu di Serui kalau kartu tersebut berhasil tiba di Eropa tepat menjelang hari raya Natal. Terimakasih banyak. Kartunya sangat bagus dan Aku menyukai pesan yang kamu tuliskan di kartu tersebut.
Aku akan mengirimkan kartu tahun baru untukmu, tetapi mungkin kamu harus bersabar menunggunya.
xxxxxLinda

Bagaikan cerita film natal di TV saja, memang agak sedikit ajaib, kartu tersebut tiba tepat waktu, padahal dikirimkan dari pulau kecil terpencil di Papua ke Dublin, Irlandia, luarbiasa
***
Akhir bulan Februari.  Gegap gempita natal sudah terlupakan.  Suasana sudah kembali lagi seperti sediakala, dimana orang beraktivitas lagi seperti biasa.  Hotel-hotel mulai dipenuhi oleh acara-acara rapat dan lokakarya yang diselenggarakan oleh baik pemerintah, perusahaan dan juga LSM.   Minggu ini Aku berada di Jayapura untuk menghadiri acara rapat koordinasi.
Sewaktu Aku tengah duduk serius memperhatikan pembicara, seseorang mencolek punggungku dari belakang sambil menyerahkan sebuah amplop merah, ternyata Ami, staf admin kantor Jayapura.  Aku melirik ke amplop tersebut, ternyata dari Irlandia.   Membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan kartu tersebut tiba di Papua, sebaliknya hanya membutuhkan dua minggu bagi kartu dari Papua untuk tiba di Irlandia.  Aku memasukan kartu tersebut ke dalam tas, dan kembali berkonsentrasi penuh mengikuti rapat. Malam hari, Aku mengeluarkan kartu berwarna merah yang berhiaskan kancing baju warna-warni dari amplopnya.  Linda memang kreatif.   Tepatnya kita berdua kreatif. Dan hal itu yang mungkin menjadi salah satu alasan kenapa kita berteman, kita memiliki kesamaan minat.
Memang email jauh lebih mudah dan tentu saja murah.  Tetapi ada kebahagiaan tersendiri sewaktu menerima amplop yang disertai dengan prangko dan cap pos. Dunia berubah, tetapi dalam beberapa hal, orang menginginkan cara lama, cara berkirim pesan dengan bantuan kantor Pos.
Linda hanya menuliskan kalimat pendek, tetapi membuatku kepalaku pusing.  Di dalam amplop itu aku juga menemukan sebuah prangko dengan cap dari kantor Pos Serui, prangko dari surat yang aku kirimkan, selain itu juga ada sebuah surat pendek yang diperuntukkan bagi pak Pos di Serui.  Dia memintaku untuk mencapaikan surat tersebut kepada pak Pos Serui, memintaku menerjemahkan kalimat yang dia tulis jika pos tersebut tidak mengerti bahasa Inggris.  Aku membaca surat dia yang diperuntukkan untuk pak Pos.  

Dear Pak Pos,
Teman saya, Karin bilang kalau surat dari kantor pos tempat Anda bekerja mungkin tidak akan sampai ke Irlandia, tetapi ternyata saya menerimanya. Dan saya hanya ingin memberitahukan anda mengenai hal itu, dan betapa saya senang menerima surat itu.
Saya mendengar banyak tentang Papua dari Karin, dan saya berharap kalau suatu saat nanti saya bisa berkunjung kesana.  Papua anda sungguh indah.
Salam,
Linda

Ada beberapa pegawai pos di kantor Serui, belum tentu bapak yang mengatakan kalau surat tersebut mungkin tidak sampai ada di tempat.  Jikalau ada, bagaimana saya harus menyampaikan pesan dari Linda? Siapa Linda? Bahkan bapak tersebut juga tidak kenal denganku.  Baginya Aku hanya seorang pendatang di kota kecilnya yang menjadi pelanggan di tempat dia bekerja.  Dalam budaya Linda hal tersebut mungkin biasa, tetapi dalam budaya Indonesia, dalam budaya Serui, reaksinya tentu akan berbeda. Pusing!
***


Fauna Papua


 



Bu Angel: Malaikat di Manokwari!



Namanya bu Angel.  Sosok sederhana yang selalu penuh senyum.  Bu Angel datang ke Papua di awal tahun 1980an.  Waktu itu dia masih, muda masih gadis, atau disini disebut nona.   Nona muda, berkulit putih dan murah senyum tersebut tinggal dengan kakaknya tidak jauh dari kampus UNIPA di Manokwari yang waktu itu masih menjadi kabupaten.  
Menurut Bu Angel, Manokwari di awal tahun 1980an masih sangat sepi.  Masih didominasi oleh hijaunya hutan, dan burung-burung beragam warna dan ukuran bertebangan bebas di udara, bahkan hinggap di jemuran belakang rumah.  Di pasar,  penduduk Papua asli dari suku Mandacan berjualan hasil hutan dan sayuran.  Mereka masih belum mengenakan baju seperti sekarang, mereka masih menggunakan celana atau rok cawat, dengan bagian atas telanjang.   Menurut Bu Angel mereka berjalan-jalan di dalam pasar sambil menyandang busur dan anak panah. 
Bu Angel muda sama sekali tidak merasa takut.  Di mata bu Angel semua manusia itu sama.  Jikalau kita tidak berbuat salah, kita santun, dan menghormati mereka, mereka pasti tidak akan mengganggu.  Bahkan, bertolak belakang dengan cerita menakutkan yang sering saya dengar, Bu Angel justru memiliki banyak pengalaman menarik.
“Pernah saya sedang berbelanja di pasar, seorang mama-mama memanggil dan berlari kecil mengejar saya, mama tersebut memberikan satu kantong besar buah Matoa, dan menolak menerima uang.  Mama tersebut bilang bawa saja, itu untuk nona!”
Dan itu bukan pengalaman pertama. Bu Angel juga bercerita sewaktu Ia berbelanja, mama-mama di pasar sering memberikan bonus tambahan.  Misal, sewaktu saya membeli kentang satu tumpuk, mama penjual tersebut menambahkan beberapa butir lagi.
Bu Angel tidak memiliki rahasia.   Ia hanya sering menyapa dan tersenyum, dan jikalau ia membawa makanan sewaktu berbelanja, seperti pisang goreng, Ia suka membagikannya kepada anak mama yang sedang berjualan tersebut.
Seiring bertambah tahun, akhirnya Bu Angel mengikuti jejak kakaknya untuk tinggal menetap di Papua.  Ia berkeluarga dengan seorang laki-laki Cina Manado dan dikarunia tiga orang anak.  Salah seorang anak Bu Angel menikah dengan laki-laki Papua, Cina-Serui.   Perbedaan warna kulit dan budaya semakin lama semakin tipis tak terlihat.  Keluarga mereka hidup rukun dengan tetangga yang terdiri dari beragam suku, ada yang dari Makassar, Jawa, atau masyarakat Papua dari Biak, Wamena, Mandacan, dan beberapa suku lainnya.  Bu Angel juga mengajarkan anaknya nilai-nilai yang dia yakini, yaitu nilai mencintai dan mengasihi sesama manusia, dia mengajarkan anaknya untuk lebih melihat ke persamaan bukan perbedaan pada diri Manusia. Manusia itu sama.
Bu Angel tidak pernah mengkhawatirkan masalah keamanan di Papua, apakah itu terkait dengan OPM atau sentimen anti pendatang yang kian meningkat.  Bagi dia, Papua adalah rumahnya.  Lama tinggal di Papua membuat dia merasa lebih seperti orang Papua, apalagi ketiga anak-nya lahir dan besar di Papua.
Pernah terjadi beberapa kali kerusuhan.  Dimana banyak toko-toko, rumah makan, dan tempat usaha pendatang lainnya dibakar, semua habis dilahap api, tetapi warung bu Angel tetap berdiri kokoh tanpa rusak sedikitpun.  Bu Angel percaya kalau tuhan akan membalas setiap kebaikan yang kita tebar.  Bu Angel juga meyakini jikalau orang yang pernah mendapatkan kebaikan dari kita tidak akan pernah lupa.  Mereka tidak akan menyakiti kita.
Bu Angel melihat kalau kebaikan orang Papua tersebut tulus.  Jikalau kita baik, mereka juga akan baik.  Banyak orang Papua yang dikenalnya memberi tanpa pamrih, jikalau hati mereka sudah tersentuh, mereka tidak pernah hitung-hitungan.
Permasalahan umum di Papua adalah minuman keras.  Tak terkecuali bagi bagi laki-laki Papua yang tinggal disekitar tempat tinggalnya.  Ketika matahari sudah terbenam, mereka akan mulai menenggak minuman dan minum sampai mabuk.    Tetapi meski dalam keadaan mabuk, mereka tetap tidak pernah menggangu Bu Angel sekeluarga.  Mereka menyapa Bu Angel ketika lewat.  Bu Angel bercerita kalau pernah beberapa anak muda, mereka pendatang baru di komplek tersebut, mengganggu anaknya yang remaja, Maria, laki-laki Papua lainnya di kompleks tersebut yang bahkan juga sedang mabuk berat menegur mereka, mereka berkata “ kau tidak boleh menggangu dia, dia itu adalah adek kami, saudara saya”.
Bu Angel tidak hanya baik pada masyarakat Papua asli, saya yang waktu sedang berkunjung ke Manokwari selama dua minggu untuk sebuah penelitian juga mendapatkan kebaikannya. Meski saya tinggal terpisah di paviliun yang dia sewakan, dia selalu mengundang saya makan ke rumahnya. Di saat saya dan dia sama-sama tidak sibuk, kami menghabiskan waktu mengobrol hingga larut malam di teras rumahnya.   Bu Angel telah menjadi inspirasi saya.  Bu Angel adalah bukti bahwa kebaikan itu tidak boleh pilih-pilih, dan tidak ada manusia yang lebih baik dari manusia lainnya, manusia itu sama.
Bonus dalam sebuah perjalanan adalah jika kita bertemu dengan orang seperti Bu Angel.  Saya tidak selalu beruntung, tetapi karena saya sering bepergian maka saya lebih beruntung dari pada orang-orang yang memilih untuk tinggal di rumah saja. Guru saya tidak hanya saudara, orang tua, atau teman tetapi juga orang-orang menarik yang saya temui dalam beberapa perjalanan.  



Kuskus (II)











Ojek Tua Menuju Puncak Polimak


Aku datang disaat kondisi politik memanas. Kota Jayapura terlihat sepi mencekam.  Meski tidak terdengar berita penembakan atau amukan masa, tetapi semua orang beraga dalam posisi siaga.   Tidak ada yang bisa menduga apa yang akan terjadi.  Situasi bisa lebih buruk dari sebelumnya.  Ada dugaan kalau kondisi akan memanas. Konon, akan ada serangan balasan dari kelompok korban.
Aku tidak tahu harus kemana, yang pasti Aku harus keluar mencari makan siang. Harga makanan room service hotel cukup mahal sedangkan harga makanan di luar hotel mungkin bisa setengahnya.  Aku memberanikan diri keluar dari hotel.  Aku menyusuri pinggir jalan, melewati hotel Yasmin.  Di seberang jalan terlihat tulisan besar KFC, dengan logo khasnya.  KFC adalah salah satu makanan favoritku, meski KFC bukanlah makanan sehat yang direkomendasikan.  Rasanya gurihnya membuatku ketagihan.  Ketika tiba di bangunan bertingkat tersebut, Aku sedikit bingung karena yang aku jumpai bukan KFC melainkan sebuah mini market kecil yang menjual berbagai kebutuhan mulai dari sayuran, buah, daging, susu, teh, kopi, pelembab, shampo, sabun, dan banyak lainnya. Dimana ayam goreng gurihku?
Aku bertanya kepada kasir mini market itu, yang kemudian ku ketahui bernama Gelael, ternyata KFC ada di lantai atas.  Antrian KFC sangat panjang, meski sudah dilayani oleh tiga kasir.  Aku memperhatikan antrian, umumnya wajah yang antri adalah wajah pendatang (tidak berambut keriting dan berkulit hitam). Mereka bisa saja orang Manado, Makasar, Jawa, Padang, Batak, dan mungkin juga mereka sudah lahir dan besar di Papua. 
Dalam perjalanan pulang ke hotel aku melihat pangkalan ojek.  Naluri petualangku tertantang,  aku menawar ojek untuk mengantarkanku ke puncak bukit Polimak.  Katanya dari puncak bukit yang bertuliskan JAYAPURA berukuran raksasa, kita dapat menyaksikan pemandangannya indah kota Jayapura, dan aku ingin membuktikannya.  Nasihat Alfredo untuk tidak pergi jauh meninggalkan hotel membuatku menjadi sedikit ragu.  Aku menanyakan kondisi keamanan kepada bapak tua, tukang ojek, yang akan mengantarkanku.  Ia berusia sekitar 50an, berbadan kurus kering, berambut lurus yang didominasi warna abu-abu.   Ia berusa meyakinkanku kalau situasi di kota dan sekitarnya cukup aman.  Polimak masih berada di daerah kota, jadi tidak berbahaya.  Dengan motor tuanya, bapak itu membawaku melewati jalanan beraspal yang terus menanjak.  Motor tua tersebut mengalami kesulitan mendaki puncak bukit.  Beberapa kali mesin motor mati, yang membuatku deg-degan. Kami melewati pemukiman padat rumah penduduk, kebanyakan rumah masyarakat Papua asli.  Jalanan menuju ke puncak Polimak sangat sempit, hanya bisa dilewati oleh satu mobil dan satu motor, itupun dengan catatan motor harus mepet ke pinggir.  Ojek tua terus merangkak naik, kami melewati beberapa stasiun pemancar TV.  Akhirnya kami tiba di puncak.  Dan benar, dari puncak Polimak kita bisa menyaksikan pemandangan indah kota Jayapura.