Aku datang disaat kondisi politik
memanas. Kota Jayapura terlihat sepi mencekam.
Meski tidak terdengar berita penembakan atau amukan masa, tetapi
semua orang beraga dalam posisi siaga. Tidak
ada yang bisa menduga apa yang akan terjadi.
Situasi bisa lebih buruk dari sebelumnya. Ada dugaan kalau kondisi akan
memanas. Konon, akan ada
serangan balasan dari kelompok korban.
Aku
tidak tahu harus kemana, yang
pasti Aku harus keluar mencari
makan siang. Harga makanan room service
hotel cukup mahal sedangkan harga makanan di luar hotel mungkin
bisa setengahnya. Aku memberanikan diri keluar dari hotel.
Aku menyusuri pinggir jalan,
melewati hotel
Yasmin. Di seberang jalan terlihat
tulisan besar KFC, dengan logo khasnya.
KFC adalah salah satu makanan
favoritku,
meski KFC bukanlah makanan sehat yang direkomendasikan.
Rasanya gurihnya membuatku ketagihan.
Ketika tiba di bangunan bertingkat
tersebut, Aku
sedikit bingung karena
yang aku jumpai bukan KFC melainkan sebuah mini market kecil yang menjual berbagai kebutuhan mulai
dari sayuran, buah, daging, susu, teh, kopi, pelembab, shampo, sabun, dan
banyak lainnya. Dimana ayam goreng gurihku?
Aku
bertanya kepada kasir mini
market itu,
yang kemudian ku ketahui bernama Gelael, ternyata KFC ada di lantai
atas. Antrian KFC sangat panjang, meski sudah dilayani oleh tiga kasir. Aku memperhatikan antrian, umumnya wajah yang antri adalah wajah pendatang (tidak berambut keriting dan berkulit hitam). Mereka bisa saja orang Manado, Makasar, Jawa, Padang,
Batak, dan mungkin juga mereka sudah lahir dan besar di
Papua.
Dalam
perjalanan pulang ke hotel aku melihat pangkalan ojek. Naluri
petualangku tertantang, aku
menawar ojek untuk mengantarkanku ke puncak bukit Polimak. Katanya dari puncak bukit yang bertuliskan JAYAPURA berukuran raksasa, kita
dapat menyaksikan
pemandangannya indah kota Jayapura, dan aku ingin membuktikannya. Nasihat Alfredo
untuk tidak pergi jauh meninggalkan hotel membuatku menjadi sedikit ragu. Aku menanyakan kondisi keamanan kepada
bapak tua, tukang ojek, yang akan mengantarkanku. Ia berusia sekitar 50an, berbadan kurus kering, berambut lurus yang
didominasi warna abu-abu. Ia berusa meyakinkanku kalau situasi di kota
dan sekitarnya cukup aman. Polimak masih
berada di daerah kota, jadi tidak berbahaya.
Dengan motor tuanya, bapak
itu membawaku
melewati jalanan beraspal yang terus menanjak. Motor tua
tersebut mengalami kesulitan mendaki puncak bukit. Beberapa kali mesin
motor mati, yang membuatku deg-degan. Kami melewati pemukiman padat rumah penduduk, kebanyakan rumah masyarakat Papua asli. Jalanan menuju ke puncak Polimak
sangat sempit, hanya bisa dilewati oleh satu mobil dan satu motor, itupun dengan catatan motor
harus mepet ke pinggir.
Ojek tua terus merangkak naik, kami melewati beberapa stasiun pemancar TV. Akhirnya kami tiba di puncak. Dan benar, dari puncak
Polimak kita bisa menyaksikan pemandangan indah kota Jayapura.
No comments:
Post a Comment