Tuesday 6 October 2015

DARI HOLANDIA KE PARIS VAN JAVA



Minggu kedua di Januari 2014, kami berangkat ke Bandung.   Bagi banyak orang perjalanan ke Bandung mungkin biasa saja, tetapi bagi dua orang rekan saya, Pak Yafet dan Mama Weldemina, perjalanan ke Bandung akan menjadi pengalaman pertama yang tentu saja istimewa.    Pak Yafet, tinggal di sebuah kampung yang tidak memiliki listrik dan sinyal telfon.  Jika jalan longsor, Ia harus berjalan kaki sekitar 10 jam dari kampungnya untuk bisa tiba di kota Serui.   Meski tinggal di tempat terpencil, Ia sudah sering mendengar mengenai Tanah Jawa, tetapi Ia tidak pernah membayangkan jika suatu saat akan tiba disana.   Sebaliknya, mama Weldemina sudah lebih berpengalaman. Beberapa tahun lalu, Ia sudah menjelajahi pulau Sumatra, tepatnya di Palembang.  Waktu itu, Ia mengikuti kegiatan pameran yang didanai oleh pemerintah kabupaten Kepulauan Yapen.   Mama Weldemina bercerita kalau perjalanan dia lalu ke Palembang sangat melelahkan, tetapi Ia menyukainya.   Bersama-sama dengan utusan lain dari Serui, mereka berlayar dengan kapal Pelni selama hampir satu minggu ke pelabuhan Tanjung Periuk di Jakarta.  Di Jakarta mereka menyewa mobil dan melanjutkan perjalanan melalui jalur darat hingga Palembang.  Mama Weldemina memang sudah menginjakan kaki di tanah Jawa, tetapi hanya sebatas pelabuhan Merak.  Semenjak itu, Ia berdoa agar diberi kesempatan sekali lagi untuk bisa kembali ke tanah Jawa dan menyaksikan pesatnya pembangunan di pulau tersebut. Dan harapannya terkabul.  Dia mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Bandung, Jawa Barat.
***
Meski tidak selama kapal laut, tetap saja kami membutuhkan dua hari untuk tiba di Bandung.  Perjalanan kami dimulai dari sebuah bandara kecil di kota Serui, bernama bandara Sudjarwo Tjondronegoro, sebuah nama Jawa untuk bandara yang berlokasi di Papua. 
“Mama, Bandung itu ada di Jawa Barat dan orangnya disebut orang Sunda, bukan orang Jawa” jelas saya ke mama Weldemina yang duduk disebelah saya di ruang tunggu pesawat yang sempit.   Pesawat Susi Air yang akan mengantar kami ke Biak sudah terlambat lebih dari satu jam.  Pesawat tersebut masih belum datang.
“Ah sama saja kak.  Orang-orang di Serui tetap taunya mama ke Jawa”
Saya mengangguk.  Akhirnya pesawat yang ditunggu tiba.  Tidak ada permintaan maaf.  Ketika menaiki tangga pesawat, saya bertanya kepada pilot, Ia menjelaskan kalau mereka harus mengganti pesawat karena pesawat yang harusnya ke Serui rusak.  Mereka terlambat karena harus terlebih dahulu menunggu pesawat dari Nabire tiba di Biak, kemudian baru dengan pesawat tersebut mereka terbang ke Serui.  
Perjalanan kami dengan pesawat kecil tersebut lancar. Cuaca di Biak sangat cerah.  Kami mengambil bagasi dan tak lama kemudian kami sudah berada di dalam mobil rental menuju ke hotel tempat kami menginap, hotel Instia.  Kami harus transit semalam di pulau Biak.
Sebelumnya saya sudah melakukan reservasi lewat telfon.  Kamar sudah siap ketika kami datang.  Hotel tersebut juga menyediakan makan siang dan makan malam secara cuma-cuma.   Setelah meletakan barang-barang di kamar, kami bertiga bertemu di restoran.  Nasi, ikan balado, tempe goreng, dan sayur bayam kami santap dengan lahap.  Perut kami lapar.  Dan meski hidangan sederhana tetapi rasanya sangat lezat.
Setelah selesai makan, kami mendiskusikan rencana perjalanan kami ke Jawa.   Pak Yafet dan mama Weldemina telah menerima itinerary perjalanan yang berisi, hari, tanggal, jam, dan rencana kegiatan.  Kami menyepakati aturan perjalanan. Aturan pertama: tepat waktu.  Aturan kedua: setiap orang bertanggung jawab memastikan semua anggota rombongan menepati waktu yang sudah disepakati.   Aturan ketiga:  jangan malu untuk bertanya, hal yang wajar untuk tidak mengetahui sesuatu yang belum kita kenal.  Aturan 4: handphone harus aktif dan pastikan pulsa selalu ada.  Kami juga menyepakati kalau setiap orang akan membuat jurnal perjalanan. 
Selesai makan, kami kembali ke kamar untuk beristirahat.   Jam 7 malam kami kembali bertemu di restoran hotel untuk makan malam.   Setelah makan, kami jalan-jalan ke pasar Biak yang berjarak hanya beberapa meter dari hotel.  Mama Weldemina membeli satu kantong buah pinang, lengkap dengan kapur dan sirih. Setengah bercanda saya bilang kalau Ia harus membeli satu karung karena kami akan berada jauh dari Papua selama satu minggu dan di Bandung tidak ada yang menjual pinang.
***
Petugas counter check in Garuda di Bandara Biak mengatakan kalau pesawat yang akan kami tumpangi delay dua jam.  Pesawat tersebut masih belum tiba di Biak.  Kalaupun nanti tiba di Biak, Pesawat itu masih harus mengangkut penumpang dari Biak ke Jayapura. Baru kemudian dari Jayapura pesawat akan kembali lagi ke Biak sebelum melanjutkan perjalanan ke Makasar dan Jakarta. Jadwal terbang yang tertulis ditiket adalah pukul 09.00, ditambah 2 jam artinya kami baru bakal terbang pukul 11.00, sementara sekarang baru pukul 07.00. Sial! Seandainya kami diberitahu lebih awal, pastinya kami masih bisa bersantai menikmati sarapan pagi di hotel.    Mama dan pak Yafet menjadi gelisah ketika perihal delay saya sampaikan.   Kegelisahan mereka kembali bertambah ketika tak lama kemudian kembali diberitahukan bahwa delay ditambah satu jam lagi.  Sebagai gantinya kami mendapatkan sekotak snack.  Alasan delay sederhana, pesawat tertahan di Jakarta karena macet.   Alasan yang sulit diterima oleh logika Papua, apalagi yang berasal dari pulau kecil seperti Yapen yang tidak pernah mengalami macet.
Kami tiba di Bandara Soekarno Hatta  pukul 4 sore waktu Jakarta atau pukul enam sore waktu Papua.   Sementara saya di toilet, mama Weldemina dan pak Yafet sibuk berfoto dengan boneka salju yang bertuliskan Selamat Natal.  Mereka tersenyum riang, tidak menunjukkan wajah letih sedikitpun.  Mereka meminta saya untuk mengambil foto mereka berdua.  Kemudian kami sama-sama melihat hasilnya.  “Bagus” saya menekan tombol panah dikiri untuk melihat foto-foto sebelumnya.  Mama dan pak Yafet berdiri disebelah saya, ikut mengamati foto-foto yang sudah mereka ambil.
Pak Yafet tersipu malu sewaktu saya mendapati sebuah foto dimana dia berpose dengan pramugari cantik Garuda.  Mereka berdiri bersebelahan, pramugari tersenyum manis dan pak Yafet tersenyum lebar. 
Saya tersenyum menggoda.  Pak Yafet semakin tersipu.  “Foto itu diambil sewaktu pesawat berhenti di Makassar.  Waktu itu Kakak turun beli air, sedangkan kami tinggal dipesawat.  Pak Yafet minta mama  untuk mengambil foto dia dengan pramugari, dan kita gantian, dia juga mengambil foto mama dengan pramugari” Mama Wel menjelaskan.  Saya mengangguk tersenyum dan menyerahkan kamera ke pak Yafet.
Kecerian mereka membuat letih saya hilang.  Setelah mengambil bagasi, kami keluar mencari mobil sewa, sekitar jam 17.00 WIB kami bertolak ke Bandung.  Di perjalanan kami menyempatkan berhenti untuk makan malam.  Jalanan cukup lancar.  

***

No comments:

Post a Comment