Minggu kedua di Januari 2014, kami berangkat
ke Bandung. Bagi banyak orang
perjalanan ke Bandung mungkin biasa saja, tetapi bagi dua orang rekan saya, Pak
Yafet dan Mama Weldemina, perjalanan ke Bandung akan menjadi pengalaman pertama
yang tentu saja istimewa. Pak Yafet,
tinggal di sebuah kampung yang tidak memiliki listrik dan sinyal telfon. Jika jalan longsor, Ia harus berjalan kaki
sekitar 10 jam dari kampungnya untuk bisa tiba di kota Serui. Meski tinggal di tempat terpencil, Ia sudah sering
mendengar mengenai Tanah Jawa, tetapi
Ia tidak pernah membayangkan jika suatu saat akan tiba disana. Sebaliknya, mama Weldemina sudah lebih
berpengalaman. Beberapa tahun lalu, Ia sudah menjelajahi pulau Sumatra,
tepatnya di Palembang. Waktu itu, Ia
mengikuti kegiatan pameran yang didanai oleh pemerintah kabupaten Kepulauan Yapen. Mama Weldemina bercerita kalau perjalanan dia
lalu ke Palembang sangat melelahkan, tetapi Ia menyukainya. Bersama-sama dengan utusan lain dari Serui,
mereka berlayar dengan kapal Pelni selama hampir satu minggu ke pelabuhan
Tanjung Periuk di Jakarta. Di Jakarta
mereka menyewa mobil dan melanjutkan perjalanan melalui jalur darat hingga
Palembang. Mama Weldemina memang sudah
menginjakan kaki di tanah Jawa, tetapi hanya sebatas pelabuhan Merak. Semenjak itu, Ia berdoa agar diberi
kesempatan sekali lagi untuk bisa kembali ke tanah Jawa dan menyaksikan
pesatnya pembangunan di pulau tersebut. Dan harapannya terkabul. Dia mendapat kesempatan untuk berkunjung ke
Bandung, Jawa Barat.
***
Meski tidak selama kapal laut, tetap saja kami
membutuhkan dua hari untuk tiba di Bandung.
Perjalanan kami dimulai dari sebuah bandara kecil di kota Serui, bernama
bandara Sudjarwo Tjondronegoro, sebuah nama Jawa untuk bandara yang berlokasi
di Papua.
“Mama, Bandung itu ada di Jawa Barat dan
orangnya disebut orang Sunda, bukan orang Jawa” jelas saya ke mama Weldemina yang
duduk disebelah saya di ruang tunggu pesawat yang sempit. Pesawat Susi Air yang akan mengantar kami ke
Biak sudah terlambat lebih dari satu jam. Pesawat tersebut masih belum datang.
“Ah sama saja kak. Orang-orang di Serui tetap taunya mama ke
Jawa”
Saya mengangguk. Akhirnya pesawat yang ditunggu tiba. Tidak ada permintaan maaf. Ketika menaiki tangga pesawat, saya bertanya kepada
pilot, Ia menjelaskan kalau mereka harus mengganti pesawat karena pesawat yang
harusnya ke Serui rusak. Mereka
terlambat karena harus terlebih dahulu menunggu pesawat dari Nabire tiba di
Biak, kemudian baru dengan pesawat tersebut mereka terbang ke Serui.
Perjalanan kami dengan pesawat kecil tersebut
lancar. Cuaca di Biak sangat cerah. Kami
mengambil bagasi dan tak lama kemudian kami sudah berada di dalam mobil rental
menuju ke hotel tempat kami menginap, hotel Instia. Kami harus transit semalam di pulau Biak.
Sebelumnya saya sudah melakukan reservasi
lewat telfon. Kamar sudah siap ketika
kami datang. Hotel tersebut juga
menyediakan makan siang dan makan malam secara cuma-cuma. Setelah meletakan barang-barang di kamar,
kami bertiga bertemu di restoran. Nasi,
ikan balado, tempe goreng, dan sayur bayam kami santap dengan lahap. Perut kami lapar. Dan meski hidangan sederhana tetapi rasanya sangat
lezat.
Setelah selesai makan, kami mendiskusikan
rencana perjalanan kami ke Jawa. Pak
Yafet dan mama Weldemina telah menerima itinerary
perjalanan yang berisi, hari, tanggal, jam, dan rencana kegiatan. Kami menyepakati aturan perjalanan. Aturan
pertama: tepat waktu. Aturan kedua: setiap
orang bertanggung jawab memastikan semua anggota rombongan menepati waktu yang
sudah disepakati. Aturan ketiga: jangan malu untuk bertanya, hal yang wajar
untuk tidak mengetahui sesuatu yang belum kita kenal. Aturan 4: handphone harus aktif dan pastikan
pulsa selalu ada. Kami juga menyepakati
kalau setiap orang akan membuat jurnal perjalanan.
Selesai makan, kami kembali ke kamar untuk
beristirahat. Jam 7 malam kami kembali bertemu di restoran
hotel untuk makan malam. Setelah makan,
kami jalan-jalan ke pasar Biak yang berjarak hanya beberapa meter dari
hotel. Mama Weldemina membeli satu
kantong buah pinang, lengkap dengan kapur dan sirih. Setengah bercanda saya
bilang kalau Ia harus membeli satu karung karena kami akan berada jauh dari
Papua selama satu minggu dan di Bandung tidak ada yang menjual pinang.
***
Petugas counter check in Garuda di Bandara
Biak mengatakan kalau pesawat yang akan kami tumpangi delay dua jam. Pesawat
tersebut masih belum tiba di Biak. Kalaupun
nanti tiba di Biak, Pesawat itu masih harus mengangkut penumpang dari Biak ke
Jayapura. Baru kemudian dari Jayapura pesawat akan kembali lagi ke Biak sebelum
melanjutkan perjalanan ke Makasar dan Jakarta. Jadwal terbang yang tertulis
ditiket adalah pukul 09.00, ditambah 2 jam artinya kami baru bakal terbang
pukul 11.00, sementara sekarang baru pukul 07.00. Sial! Seandainya kami
diberitahu lebih awal, pastinya kami masih bisa bersantai menikmati sarapan
pagi di hotel. Mama dan pak Yafet
menjadi gelisah ketika perihal delay saya sampaikan. Kegelisahan
mereka kembali bertambah ketika tak lama kemudian kembali diberitahukan bahwa delay
ditambah satu jam lagi. Sebagai gantinya
kami mendapatkan sekotak snack. Alasan delay sederhana, pesawat tertahan di
Jakarta karena macet. Alasan yang sulit diterima oleh logika Papua,
apalagi yang berasal dari pulau kecil seperti Yapen yang tidak pernah mengalami
macet.
Kami tiba di Bandara Soekarno Hatta pukul 4 sore waktu Jakarta atau pukul enam
sore waktu Papua. Sementara saya di
toilet, mama Weldemina dan pak Yafet sibuk berfoto dengan boneka salju yang
bertuliskan Selamat Natal. Mereka
tersenyum riang, tidak menunjukkan wajah letih sedikitpun. Mereka meminta saya untuk mengambil foto
mereka berdua. Kemudian kami sama-sama melihat
hasilnya. “Bagus” saya menekan tombol
panah dikiri untuk melihat foto-foto sebelumnya. Mama dan pak Yafet berdiri disebelah saya, ikut
mengamati foto-foto yang sudah mereka ambil.
Pak Yafet tersipu malu sewaktu saya mendapati
sebuah foto dimana dia berpose dengan pramugari cantik Garuda. Mereka berdiri bersebelahan, pramugari
tersenyum manis dan pak Yafet tersenyum lebar.
Saya tersenyum menggoda. Pak Yafet semakin tersipu. “Foto itu diambil sewaktu pesawat berhenti di
Makassar. Waktu itu Kakak turun beli
air, sedangkan kami tinggal dipesawat. Pak
Yafet minta mama untuk mengambil foto dia
dengan pramugari, dan kita gantian, dia juga mengambil foto mama dengan
pramugari” Mama Wel menjelaskan. Saya
mengangguk tersenyum dan menyerahkan kamera ke pak Yafet.
Kecerian mereka membuat letih saya
hilang. Setelah mengambil bagasi, kami
keluar mencari mobil sewa, sekitar jam 17.00 WIB kami bertolak ke Bandung. Di perjalanan kami menyempatkan berhenti
untuk makan malam. Jalanan cukup
lancar.
***
No comments:
Post a Comment