Thursday 9 April 2015

Kemiskinan Jakarta dari Kaca Mata Papua

Sudah lama saya tidak meng-update blog ini.  Hal ini dikarenakan kesibukan pekerjaan dan kuliah dan mungkin juga oleh rasa malas.   Saya masih memiliki beberapa foto dan banyak cerita mengenai Papua yang belum saya uploadd disini.  Tetapi kali ini saya akan bercerita sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan Papua, tidak secara langsung, tetapi pengalaman yang menarik untuk diceritakan. Sudah hampir satu tahun saya meninggalkan Papua, tetapi tentu saja pengalaman indah selama disana tidak akan pernah saya lupakan.

Saya sudah kembali ke rutinitas masyarakat yang hidup di kota besar; pergi pagi dan pulang malam.  Waktu tidak pernah cukup. Kemacematan, berdesak-desakan di kereta, berjalan tergesa-gesa sudah menjadi keseharian saya.  Tubuh penat dan lelah. Hingga suatu ketika teman Papua saya Ahn, memutuskan tinggal dengan saya selama seminggu untuk liburan di Jakarta.  Ahn yang baru pulang menghadiri acara rapat kantornya di daerah puncak, belum pernah menjelajahi Jakarta.  Oleh karena itu saya memutuskan untuk berhenti sejenak dari aktivitas saya, istirahat sejenak- liburan bersama Ahn. Kami sempat berencana untuk melakukan perjalanan ke Bandung bahkan juga sempat terfikir untuk body rafting di Green Canyon.  Pilihan untuk camping di gunung salak dan pergi snorkeling di kepulauan seribu juga tela kami bahas.  Tetapi disamping pekerjaan saya yang workload-nya lagi cukup tinggi, minggu Ahn di Jakarta juga minggu yang sama saya ujian tengah semester.  Memang saya tidak ujian setiap hari, tetapi tetap saja saya tidak bisa pergi keluar kota.
Ahn tidak terlalu mempermasalahan kemana kita harus pergi. Ahn cukup senang bisa mengikuti sebagian dari rutinitas harian saya.  Ahn main ke kantor saya, ikut kuliah bersama saya (meski minggunya ujian tetapi saya juga perkuliah juga masih jalan).  Ahn beruntung karena untuk kunjungan pertama ke Jakarta, dia telah mencoba semua jenis transportasi, mulai dari angkot, metromini, kereta, busway, ojek, dan tentu saja, bajai.
Banyak tempat yang bisa dikunjungi di Jakarta, banyak hal yang bisa dilkukan, tetapi salah satu kegiatan yang berkesan bagi saya adalah sewaktu kami menelusuri perkampungan kumuh di daerah pelabuhan sunda kelapa dengan perahu dayung.

Saya dengan Ahn sudah sering bepergian bersama.  Kami memiliki hobi yang sama, menjelajah ke hutan-hutan, pantai, serta kegiatan outdoor lainnya.  Kami tidak pernah takut dengan panas matahari yang akan membakar kulit kami. Kami tidak takut menjadi hitam.  Kami mengabadikan perjalanan kami dalam bentuk foto.  Bepergian tidak hanya sekedar menikmati keindahan tempat bagi kami tetapi juga untuk lebih mengenal realitas hidup, mengenal masyarakat, dan lebih memaknai kehidupan ini.  Kami mendiskusikan apa yang kami lihat, apa yang kami rasakan, dan sebuah pelajaran selalu memberikan pembelajaran baru. 
Sulit menemukan teman jalan seperti Ahn. Teman yang ketika saya ajak untuk menelusuri perkampungan kumuh di Jakarta dengan semangat langsung menjawab iya.  Iya tidak terganggu dengan bau busuk yang menusuk, sama dengan saya, dia menikmati perjalanan tersebut.   Beberapa anak-anak di perkampungan tersebut bersorak ketika melihat Ahn, mereka bersorak riang “Papua... Papua....Papua...” Ini mungkin kali pertama mereka melihat orang Papua secara langsung, selama ini mereka hanya melihatnya di TV. Ahn tersenyum ke arah saya, perahu kami melaju meninggalkan kumpulan anak tadi.
Beberapa kali perahu kami harus berhenti karena terhalang oleh perahu lain. Di sepanjang perjalanan kami banyak menemukan bapak-bapak yang tengah tertidur lelap di perahu.  Kami juga menemukan kerumunan orang disebuah jembatan yang tengah membeli cempedak.  Tidak tahu dari mana, tetapi di jembatan kecil tersebut tingginya tumpukan cempedak tersebut menyerupai sebuah gunung.  Ibu-ibu tengah melakukan tawar menawar dengan penjual, laki-laki kurus yang rambutnya sudah mulai beruban. Selain itu, juga terlihat beberapa remaja perempuan tengah duduk di pagar pembatas jembatan, beberapa diantaranya sibuk mencari kutu.
Bapak pemilik perahu mengayuh perahu dengan gerakan perlahan, saya dan Ahn mulai sibuk memotret. Meski tangan dan mata kami membidik objek yang kami anggap menarik, kami juga tak lupa mengomentari apa yang kami lihat. Kami melewati sebuah rumah yang miring sekitar 40 derjat, beberapa kayu nampak lapuk dan bahkan banyak yang sudah patah. Ahn menatap rumah tersebut dengan tatapan khawatir.  "Bagaimana jika rumah tersebut runtuh? Apakah orang-orang di dalam rumah tidak takut jatuh? Ini rumah benar-benar sudah tidak layak kakak, bahaya.  Rumah tersebut miring, letak kayu tidak beraturan, saya tidak bisa membayangkan orang yang tinggal di dalamnya"
“Itu kan menurut kita, bagi mereka mungkin biasa saja, mereka nyaman saja kok? Ucap saya sambil mengganti membuka lensa kamera. 
“Sama saja dengan orang dari kota yang main ke Wamena trus melihat orang Papua yang tingga di Honai, mereka juga pasti akan kasihan, padahal orang Papua yang tinggal di honai baik-baik saja, tidak ada yang salah.” Lanjut saya, sambil memasang lensa lebar, dan menyimpan lensa standar ke dalam tas.  
“Iya, tetapi ini berbeda kakak.  Di Wamena, honai mereka bersih, lingkungannya sehat, tidak bau seperti ini” Ahn menyanggah.
Saya tersenyum, iya, berbeda. Dan beda paling nyata adalah kalau di Papua orang masih punya pilihan, alam mereka kaya, tinggal mereka mau mengolahnya atau tidak, berbeda dengan banyak penduduk miskin di Jakarta, mereka tidak punya pilihan. 
Perahu kami terus melaju, saya terkejut ketika melihat dua buah burung nuri di salah satu rumah di pemukiman ini.
“Ahn, lihat, burung Nuri”
Saya menambahkan “Kok bisa ya mereka punya burung tersebut, burung tersebut kan mahal, trus bagaimana burung tersebut bisa dari Papua pindah kesini?
Saya tidak habis fikir, bagaimana saya bisa menyebut mereka miskin jika hewan peliharaan mereka saja dua ekor burung nuri.
Perahu kami berbelok untuk kembali lagi ke pelabuhan sunda kelapa. Kami melihat keluarga yang tengah makan siang ketika kami melewati sebuah rumah yang jendelanya terbuka lebar.  Dua anak kecil langsung berlarian ke arah jendela sambil berucap perahu lewat, perahu lewat. Mereka tersenyum ke arah kami.
Kami kembali melewati jembatan tadi, si penjual cempedak masih duduk disana, pembeli cempedak tidak berkurang, mungkin karena cempedaknya manis, atau mungkin juga karena harganya murah.
Ahn mengeluarkan kamera yang tadi sudah dia simpan di tas.  Dia bersiap memotret sebuah tulisan besar yang bertuliskan “Lewat bayar seribu”, menarik, apakah maksudnya setiap yang lewat harus bayar seribu? Bagaimana jika satu orang lewat dua kali dalam sehari, apakah artinya dia harus bayar dua ribu? Trus kenapa orang harus bayar, apakah karena jembatan tesebut dibangun dengan dana sendiri? Bapakyang duduk di bawah tulisan tersebut, yang terlihat sebagai penjaga, melihat yang akan memotret tulisan tersebut. “Silahkan, silahkan di foto” katanya ramah.
Perahu kami sudah meninggalkan kampung kumuh, sekarang kami berada ditengah banyaknya kapal-kapal yang tengah bersandar. Pemilik sampan yang kami tumpangi, seakan mengerti apa yang kami ingin kan, membawa kami berkeliling mengitari kapal tersebut.  dari perahu kecil kami, kami memandang ke arah kapal-kapal besar tersebut. Penghuni semua tersebut adalah laki-laki.  Pakaian mereka dan juga pakaian dalam di jemur sembarangan di pintu dan jendela kapal.  Terlihat beberapa orang laki-laki bertelanjang dada tengah duduk bersantai.  Di salah satu kapal kami juga melihat seorang laki-laki setengah baya yang tengah menatap kosong ke depan.  Kemanakah kapal mereka berlayar? Apa yang mereka angkut? Sudah berapa lama mereka tidak pulang? Saya  teringat dengan obrolan saya dengan Ramli, pemuda dari bau bau yang saya jumpai di salah satu perjalanan saya di Papua, dia pernah bekerja di kapal taiwan, dua tahun berada di laut tanpa pernah turun ke darat, dan tanpa pernah melihat perempuan.
Perahu kami akhirnya tiba ditempat semula, tempat dimana kami tadi naik, dua jam yang lalu. Lama juga, tetapi tidak terasa.  Jika kita selalu melihat keatas, terkadang membuat kita tidak bersyukur, oleh karena itu, penting juga untuk sekali-kali melihat ke bawah.
Semenjak pembicaraan terakhir mengenai rumah yang hampir rubuh tadi Ahn lebih banyak diam.  Dia menatap setiap sudut yang kami lalui dan sesekali membidikan kameranya. Dia tersenyum ke arah saya, seakan membaca yang saya fikirkan, dia berkata “Saya menikmati perjalanan kita, saya tidak tahu tempat seperti ini ada, saya jadi banyak belajar” Ahn, mencari pegangan untuk menjaga keseimbangan, saya segera menyambut tangannya, dan kamipun melompat keluar dari perahu tersebut.  
 Iya, kami hanya bisa melihat dan pergi.  Tetapi apa yang kami lihat sudah kami simpan di hati.

Jakarta, 9 April 2015. 




No comments:

Post a Comment